Senin, 06 September 2010

Sejarah Para Pendekar Kungfu [Part 2]

Melanjutkan posting-an sebelumnya tentang sejarah para pendekar kungfu. Berikut sejarah dan kisah mereka.

14. Lü Bu (Lü Fengxian)
Lü Bu, nama lengkap Lü Fengxian, lahir di Wuyuan (sekarang di wilayah Mongolia Dalam) adalah seorang jenderal terkenal dari penghujung zaman Dinasti Han dan Tiga Negara. Lu Bu dengan ciri khas memakai penutup kepala dengan ekor, ia memiliki kuda yang sangat kuat : red hare

Lü Bu merupakan salah satu jenderal perang terhebat sepanjang sejarah China, yang ahli dalam berkuda, memanah, dan pertarungan dengan senjata. Terkenal oleh kekuatannya dan kehebatannya dalam medan pertempuran, namun demikian juga ahklaknya yg buruk, suka berubah-rubah, dan tidak dapat dipercaya. Ia juga adalah seorang yang menghalalkan segala cara untuk mewujudkan ambisinya. Lü Bu pertama kali mengabdi kepada Ding Yuan, yang kemudian berkomplot bersama He Jin untuk membunuh para menteri istana sepeninggal Kaisar Lingdi dan naik pangkat menjadi letnan jenderal.


Setelah Dong Zhuo mengangkat diri sebagai perdana menteri, ia kemudian menjadikan Lü Bu sebagai anak angkatnya dan panglima perang kekaisaran. Dengan Lü Bu di pihaknya Dong Zhuo memiliki kekuatan besar untuk menguasai dan melakukan kejahatan. Dong Zhuo mengambil alih ibukota dan kekaisaran serta melakukan banyak kejahatan yang juga membut banyak orang sedih dan menderita. Pertarungan besarnya adalah
ketika ia ditugaskan menjaga benteng Hu Lao dari kepungan aliansi musuh. Tidak ada seorangpun yang menjadi tandinganya, hanya seorang Zhang Fei bertahan mengahadapinya. Jenderal besar Guan Yu dari pihak Liu Bei ikut membantu Zhang Fei, namun Lü Bu tetap bertahan tanpa menunjukan kelelahan yang berarti. Bergabungnya Liu Bei akhirnya memaksa Lü Bu mundur. Benteng Hu Lao berhasil ditaklukan, Dong Xhuo membakar ibukota dan melakukan eksodus besar-besaran dari Luo Yang ke Chang An. Wang Yun, salah seorng menteri mengatur siasat untuk membunuh Dong Zhuo, ia kemudian menggunakan anaknya Diao Chan, seorang penari yang sangat mempesona untuk memancing Lü Bu membunuh Dong Zhuo. Wan Yun berjanji akan menikahkan Lü Bu dengan putrinya Diao Chan jika Lu Bu berhasil membunuh Dong Zhuo. Karena sifat Dong Zhuo yang tidak sabar dan bertemperamen kasar, Lü Bu akhirnya murka dan membunuh Dong Zhuo atas hasutan Wang Yun tersebut.

Li Jue, bawahan Dong Zhuo memimpin pasukan menyerang dan mengusir Lü Bu dari ibukota, Lü Bu melarikan diri dalam pengasingan, mencari perlindungan kepada Yuan Shu, yang menolak untuk menerimanya, lalu ia juga pergi kepada Yuan Shao, Zhang Miao dan Liu Bei.

Ia akhirnya menyusun kekuatan di Xia Pi, di mana ia sering terlibat pertempuran dengan Cao Cao. Tahun 198, Cao Cao menyerang Xia Pi dan memukul mundur pasukan Lü Bu terus menerus serta akhirnya mengepung pasukan Lü Bu selama 3 bulan. Lü Bu dengan moral pasukan yang rendah diperparah dengan pengkhianatan bawahannya, Hou Cheng, Song Xian dan Wei Xu. Lü Bu tertangkap oleh Cao Cao, yang kemudian ia menawarkan jasanya untuk bekerja sebagai bawahan Cao Cao. Namun Liu Bei mengingatkan Cao Cao bahwa Lü Bu tidak dapat dipercaya dan membiarkannya hidup sangat berbahaya. Lü Bu kemudian dieksekusi oleh Cao Cao.

15. Sinshe Lo Ban Teng
Nun dekat di kota Semarang sini, pernah tinggal seorang ahli Kungfu bernama Lo Ban Teng berjulukan Pek Bin Kim Kong (malaikat berwajah putih). Lo Ban Teng lahir di kampung Tang-Ua-Bee-Kee, kota Cio-bee, provinsi Hokkian, Tiongkok Tengah pada tanggal 1 bulan keenam tahun 2437 (Masehi 1886). Setelah sebelumnya pernah mengunjungi Semarang pada waktu remaja, Lo Ban Teng menetap di Semarang sejak 1927 karena kecantol dengan seorang gadis bernama Go Bin Nio.

Lo Ban Teng merupakan ahli kuntao kesohor dan konon tak terkalahkan pada masanya. Lo Ban Teng merupakan murid dari Yoe Tjoen Gan dengan alirannya kungfu Siauw Lim Ho Yang Pay. Lo Ban Teng mewarisi sejilid buku resep-resep obat dan ilmu kungfu Ho Yang Pay serta sebuah ban pinggang kulit dari gurunya. Warisan tersebut hingga kini masih disimpan oleh keturunan LoBan Teng.

Salah satu aksi Lo Ban Teng yang menghebohkan dunia persilatan di tanah jawa pada waktu itu ialah ketika ia mengadakan acara Tjing Pie Say, acara dimana seni beladiri di tampilkan. Secara tradisi Cina, orang yang berani mengadakan acara Tjing Pie Say adalah seorang pemberani yang siap membuktikan kemampuannya menghadapi siapapun dalam hal seni beladiri. Acara ini dilaksanakan di Solo, Semarang, dan Yogya. Penyelenggara juga menempelkan poster-poster yg provokatif seperti: "Bwee Pa, Tju Li Lay" (Kalau mau coba, silahkan muncul), "Kia Sia Em Tang Lay" (Kalau takut mati, lebih baik jangan datang), "Pa Sie Ka Tie Tay" (Kalau kena serangan maut, urus sendiri kuburan anda) dll. Namun demikian pada saat itu tidak ada respon dari para pendekar di tanah jawa. Lo Ban Teng malah menerima surat kaleng berisi ancaman bahwa kalau ia tidak tutup mulut akan dipulangkan ke Cina dengan tendangan. Lo Ban Teng membalas ancaman ini dengan menantang sang penulis surat kaleng untuk muncul di muka publik. Festival Tjing Pie Say akhirnya dihentikan karena terlalu mahal dan tidak mencapai tujuannya yaitu untuk mencari ahli beladiri yang hebat di tanah jawa pada saat itu.

16. Li Shu Wen, maestro Ba Ji Quan (Kungfu 8 Mata Angin)
Li Shu Wen 李書文 (1864 - 1934)
adalah salah seorang legenda dalam dunia bela diri China, ahli dalam Ba Ji Chuan (八极拳) atau Kungfu 8 Mata Angin (Hakkyokuken).


Li Shu Wen dilahirkan di desa Zhang Sha, dia adalah penduduk asli kabupaten Cang propinsi Hebei yang terkenal sebagai tanah kelahiran aliran Kung Fu yang terkenal di penjuru RRC baik secara geografis maupun sejarah.

Pada masa kanak-kanak, Li Shu Wen dijual ke sekelompok opera (semacam ketoprak China) untuk belajar menjadi Wu Sheng (karakter pendekar lelaki dalam opera China) karena kemiskinan. Kakinya sempat cidera dan karena hal ini dia dipulangkan. Tersebutlah seorang Jin Dian Sheng yang selain seorang guru Ba Ji Quan, juga merupakan ahli pengobatan, maka Li berguru padanya. Hingga akhir hayatnya, dia membenci orang yang sering siul-siul lagu lagu dair opera China. Bahkan murid-muridnya tidak berani bernyanyi atau bersiul lagu-lagu dari opera bila dia ada, karena mereka pasti akan dihukumnya. Walau begitu, kalau moodnya lagi bagus, dia akan memperagakan keahlian Wu Shengnya seperti berakrobat menggunakan kursi dan lainnya. Derita di masa kecilnya ini akan mempengaruhi karakternya di masa dewasanya sekaligus membentuk karakter yang sangat khas bagi pembentukan ilmu Ba Ji quannya.
Li pertama kali mempelajari beladiri dari Jian Dian Sheng (1785 - ???) dari desa Meng. Kemudian dia mengembara ke desa Luo dan belajar dari Huang Si Hai disana.

Li lebih dari seorang murid biasa. Kemampuan pembelajaran beladirinya bisa dibilang sangat tinggi. Hal ini bisa dibuktikan dari fakta bahwa dia tidak pernah terkalahkan dalam semua duel seumur hidupnya. Ilmu tombaknya sangat dahsyat hingga dia dikenal sebagai "Li sang Dewa Tombak". Berkat ketekunan, bakat dan kemampuannya mengasah kekuatan, Li hampir tidak pernah menyerang lawannya lebih dari sekali. Salah satu kalimatnya yang paling terkenal adalah "Aku tidak tahu rasanya menlayangkan pukulan kedua". Karena rata-rata musuhnya sudah kalah atau bahkan tewas setelah terkena serangan pertamanya. Dia bahkan menarik perhatian begitu banyak murid dan tak heran, sejumlah ahli bela diri yang sudah termasuk pendekar papan ataspun berguru padanya.

Fisik Li Shu Wen tergolong biasa saja, tetapi semangat dan penampilannya sangat mengesankan. Ketika jenderal Xu Lan Shou dari Dong Bei menjadi murinya, banyak jenderal dan prajurit yang lantas juga ikut berguru padanya. Ketika Li Jing Lin sedang berdinas di He Bei, dia mengundang Li Shu Wen untuk melatih di daerah Tian Jin. Pada saat yang sama Li Jing Lin juga mengundang dua ahli bela diri lain untuk mengajar di kediamannya. Li Shu Wen malah menganggap kedua ahli bela diri tersebut tidak cakap untuk mengajar bela diri, dan tidak akan cocok bila harus mengajar sesuai level pengajaran Li Shu Wen. Beberapa kali Li sempat menantang mereka tanpa sempat digubris. Suatu hari Li Jing Lin menggelar sebuah jamuan makan dan ketiga pengajarnya diminta untuk saling "bertukar jurus" (demonstrasi latih tanding) satu sama lain setelah makan malam usai. Li Shu Wen pertama kali memperagakan jurus Pai Zhang dari Ba Ji Quan, dan mengatakan bahwa dia hanya perlu menyerang lawan dengan satu jurus ini saja. Ketika pertarungan dimulai, Li segera menyarangkan sebuah serangan dengan telapak tangannya ke wajah lawan. Bukan hanya patah leher, lawannya langsung tewas dengan kedua bola mata keluar dari lubangnya. Ketika lawan keduanya muncul, Li tetap menggunakan Pai Zhang. Lawannya mengelak dan menggeser kepalanya ke samping, tetapi telapak tangan Li menghantam bahunya, mematahkan tulang selangka dan membuat tangannya terlepas dari bahu. Li Jing Lin jelas sangat tidak senang melihat kedua pelatihnya tewas dan terluka akibat perbuatan Li Shu Wen, dan mulai membencinya. Keduanya menjadi tidak akur dan setelah beberapa tahun, Li dipulangkan ke kabupaten Cang.

Murid terakhir sekaligus murid kesayangan Li adalah Liu Yun Chiao, juga merupakan muridnya yang paling terkenal. Kakek Liu adalah seorang Gubernur di Hebei. Ketika Liu masih kecil, dia lemah dan sering jatuh sakit. Ayahnya menyewa ahli beladiri untuk mengajari Liu kecil beladiri sekaligus agar tubuhnya menjadi kuat dan tidak mudah sakit. Guru terakhirnya adalah Li Shu Wen yang disewa ayahnya untuk tinggal dirumah dinasnya sehingga bisa mengajari Liu setiap hari. Setelah berlatih bersama 10 tahun lamanya, mereka mengembara keliling China (waktu itu belum Republik, masih kekaisaran) untuk mencari pengalaman lewat sejumlah latih-tanding. Liu sendiri pada akhirnya menjadi guru Ba Ji Chuan yang legendaris, seorang Grand Master.

Li Shu Wen bukanlah orang yang ramah. Dia pendiam, selalu menerima tantangan duel, dan bahkan tak segan-segan untuk mengatakan bahwa serangannya akan berakibat kematian, dan umumnya, lawannya pasti tewas di tangannya. Bahkan di akhir hidupnya sekalipun. Li ditantang oleh seorang pednekar tombak yang jauh lebih muda darinya, walaupun sudah berumur lebih dari 70 tahun, Li tetap menerima tantangannya dan menewaskan pendekar muda tadi. Keluarga pendekar muda tersebut marah dan berencana membunuh Li. Di suatu warung, ketika mampir minum dari perjalanan pulang ke kampung halaman dari ibukota, seseorang yang mengaku pengagumnya menawarinya minum teh yang terbilang sangat mahal, Li menerimanya tanpa sadar bahwa teh itu diracun. Nyawa Li tak tertolong lagi, ketika dokter tiba, Li sudah meninggal dalam posisi duduk bersila. Akhir hidup yang mengenaskan bagi seorang pendekar hebat. Walau begitu, Li sudah berkali-kali mengingatkan pada muridnya bahwa dia tahu bila banyak yang mendendam kepadanya dan tidak heran bila ada yang ingin membunuhnya. Di sisi lain, Li juga dikenal sebagai orang yang berdedikasi tinggi pada ilmunya. Setiap ada kesempatan, dia pasti melatih ilmu tombak yang merupakan favoritnya. Bahkan dalam pengajaran alirannya, hingga hari ini hal ini masih menjadi latihan rutin yang terbilang tidak biasa dalam pengajaran beladiri China pada umumnya..

Guru yang hebat akan menghasilkan murid yang hebat pula. Banyak murid-murdinya yang merupakan orang terkenal dalam sejarah beladiri. 4 muridnya dari desa Luo Tong adalah Han Hua Chen, Ma Ying Tu, Ma Fong Tzu dan Zhou Shu De. Mereka memperkenalkan bentuk paten Ba Ji Quan ke Central Martial Academy (Wisma Ilmu Negara) di Nanjing, sebuah organisasi yang memodernisasi teknik dan pembelajaran beladiri di China di awal masa kebangkitan Republik Rakyat China.

Murid-murid lainnya diantaranya adalah Panglima Li Jin Lin (aahli pedang), Ren Guo Dong, Zhang Xiang Wu, Na Yu Kuen, Liu Hu Chen dan Liu Xu Dong. Murid pertama Li, Huo Dian Ge, menjadi bodyguard dan guru Fu Yi (Pu I), Kaisar China terakhir. Beberapa muridnya juga menjadi bodyguard Chiang Kai Shek, dan Mao Tse Dong. Jadi biarpun para politikus ini saling berbeda pendapat dan saling membenci, mereka saling mengerti bahayanya berkonforntasi langsung, dikarenakan para bodyguard mereka berasal dari satu perguruan dan tak akan mau saling hajar.

Kisah Li Shu Wen ini sempat diabadikan dalam satu tankoubun (episode) 21manga "Kenji" karya Ryuchi Matsuda dan Yoshihide Fujiwara, diawal 90an sempat beredar di Indonesia, diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. Dalam terjemahan Indonesia, namanya dibaca Li Syo Bun. Dan Ryuchi Matsuda ini adalah salah satu ahli Ba Ji Quan aliran Li, dan kisah Kenji merupakan dramatisasi perjalanan hidupnya mempelajari dan meneliti ilmu bela diri ini.

17. Fong Sai Yuk
Fong Sai-yuk (Cina: 方世玉; pinyin: Fang Shìyù; Yale Cantonese: Fong1 Sai3 Yuk6) adalah seorang seniman mungkin fiksi bela diri Cina dan pahlawan rakyat. Dia pertama kali diperkenalkan dalam cerita Wuxia dari Dinasti Qing seperti Wan Nian Qing. Ia juga tampil dalam beberapa bentuk media, yang paling penting adalah film 1993 Fong Sai Yuk.

Fong Sai-yuk adalah penduduk asli Zhaoqing, provinsi Guangdong. Ayahnya, Fong Tak (方 德), adalah seorang pengusaha kaya sementara ibunya Miu Tsui Fa adalah seniman bela diri yang sangat terampil. Ibunya juga putri dari salah satu legendaris Lima Sesepuh dari Biara Shaolin selatan.

Menurut legenda, ibunya meremukkan setiap tulang dan anggota tubuh di dalam tubuhnya setelah kelahirannya dan memandikan dia dengan Obat Gosok Cina (铁打 酒 jow da dit) untuk membuatnya hampir tak terkalahkan. Tubuh Fong Sai-yuk menjadi "kulit dan tulang logam tembaga" setelah perawatan.

Menurut legenda, Fong Sai-yuk dibunuh oleh Bak Mei, petinju bayaran terkenal dalam pertempuran balas dendam. Namun menurut sejarah, Fong Sai-yuk tewas dalam pertempuran dengan Ng Mui selama pembakaran Shaolin.

Baca juga Sejarah Para Pendekar Kungfu [Part 1]

Sumber: www.kaskus.us, www.wikipedia.org, dan berbagai sumber

2 komentar:

  1. sama-sama bro..
    yg bagian pertama bisa klik link di bawah ini
    http://ronalys.blogspot.co.id/2010/08/sejarah-para-pendekar-kungfu.html

    BalasHapus